Iket Sunda |
Iket dalam budaya sunda memiliki filosofi tersendiri, disebut Makutawangsa
:
“sing saha bae anu make iket ieu, maka dirina kudu ngalakonkeun Pancadharma….“
artinya : “barang siapa yang menggunakan iket ini, harus menjalankan Pancadharma…“
Hukum Pancadharma:
Apal jeung hormat ka Purwadaksi Diri (Menyadari dan menghormat kepada asal
usul diri).
Tunduk kana HUukum jeung Aturan (Tunduk akan hukum dan tata tertib/aturan).
- Berilmu (Dilarang Bodoh)
- Mengagungkan Sang Hyang Tunggal (Sang pencipta, Tuhan yang Maha Esa).
- Berbakti kepada BANGSA dan NEGARA.
Digambarkan tahapan iket Makutawangsa. Pada tahap pertama disebut OPAT
KA LIMA PANCER, dapat juga diartikan diri menyatu dengan unsur-unsur utama
alam: Angin, Cai (Air), Taneuh (Tanah) dan Seuneu (Api). Kemudian segiempat
tadi dilipat menjadi bentuk segitiga yang merupakan refleksi Diri, Bumi dan
Negeri. Refleksi ini dikenal dengan sebutan TRITANGTU dalam
falsafah sunda. Kemudian lakukan lipatan sebanyak lima kali, disebut sebagai PANCANITI.
- Niti Harti (Tahap mengerti)
- Niti Surti (Taham memahami)
- Niti Bukti (Tahap membuktikan)
- Niti Bakti (Tahap membaktikan)
- Niti Jati (Tahap kesejatian, manunggal dengan sang pencipta)
Sebagai salah satu hasil seni budaya
Jawa Barat ini, keberadaan iket harus tetap dilestarikan sehingga tetap dikenal
oleh anak-anak muda generasi penerus suku Sunda yang sebelumnya sudah turun
temurun. Kang Mochamad Asep Hadian Adipradja di Pulasara Iket,
membagi rupa iket menjasi tiga kategori yaitu:
1. Iket Réka-an Baheula
Iket Réka-an Baheula adalah rupa iket
yang penggunaanya sudah menjadi tradisi sehari-hari dan sudah ada sejak dulu di
kampung-kampung adat Sunda tanpa dipengruhi unsur seni dari luar. Contoh rupa
iket ini adalah yang biasa dipakai oleh orangtua dimana mereka sudah
mengenakan rupa iket ini sejak remaja (anak-anak) dan sampai sekarang pun masih
tetap memakainya.
Adanya beberapa kunjungan wisata dari kota/tempat lain dimana para pengunjung tersebut mengenakan iket budaya lain yang sedikit berbeda, terkadang dapat mempengaruhi sutu rupa iket Sunda bahkan tertarik untuk menirunya yang pada akhirnya terjadi transformasi bentuk. Mochamad Asep mengambil patokan tahun yang dikatakan rékaan baheula adalah sebelum tahun 1999 karena pada tahun tersebut Musium Sri Baduga telah membuat beberapa artikel mengenai penutup kepala. Yang termasuk Iket Réka-an Baheula di antaranya:
- Iket Barangbang Semplak
- Iket Julang Ngapak
- Iket Kuda Ngencar
- Iket Parekos Nangka
- Iket Parekos Jengkol
- Iket Kekeongan (Borongsong Keong : Banten)
- Iket Maung Heuay
- Iket Porteng
2. Iket Réka-an Kiwari
Iket Réka-an Kiwari adalah
rupa iket hasil karya dari sendiri (pribadi) sesuai dengan ide, inspsirasi, dan
kreasi yang disenanginya. Namun demikian prinsipnya tetap menggunakan jenis
kain yang sama yaitu kain juru opat (segi empat). Iket Reka-an ini merupakan
bentuk dari penemuan, imajinasi, atau surup-an dari hal hal tertentu, bahkan
mungkin saja Rupa Iket Reka-an ini adalah hasil dari rupa iket Buhun yang
dilahirkan kembali setelah bertahun-tahun tidak diketahui. Hal ini bisa
dibuktikan melalui beberapa saksi hidup dari dari generasi penerusnya. Menurut Mochamad Asep Hadian
Adipradja-Pulasara Iket, Rupa Iket Rekaan Kiwari ini mulai banyak di temukan
pada tahun 2011 hingga sekarang. Yang termasuk Iket Réka-an Kiwari di
antaranya:
- Iket Candra Sumirat
- Iket Maung Leumpang
- Iket Hanjuang Nangtung
3. Iket Praktis
Iket Praktis ini adalah Rupa Iket
tinggal pakai atau sudah jasi sehingga para pengguna tidak lagi perlu mengikat
atau membentuk iket dengan teknik-teknik tertentu tetapi dapat langsung
dipakai. Rupai iket Praktis ini mulai dikela sejak tahun 2008. Sama seperti
rupa iket lain, Rupa Iket Praktis ini juga mempunyai corak dan warna yang
bervariasi tetapi masih sama menggunakan kain juru opat (segi empat). Contoh
Rupa Iket Praktis di antaranya:
- Iket Praktis Parekos
- Iket Praktis Makuta Wangsa
- Iket Praktis Mancala Putra
sumber :