Parisj Van Java, Parisnya Jawa

Selain mendapatkan predikat Kota Kembang, nama lain yang melekat pada kota Bandung adalah Parisj Van Java atau Parisnya Jawa. Predikat atau sebutan sebagai  Parisnya Jawa bukan tanpa alasan, hal ini tidak terlepas dari sejarah panjang ibu kota provinsi Jawa Barat ini.

Seperti ditulis www.indonesiamedia.com, bahwa tahun 1908 pemerintah Hindia Belanda mendirikan Vereeniging Toeristenverkeer (Perkumpulan Kepariwisataan) dengan kantor di Batavia yang dibiayai pemilik-pemilik hotel, restoran, toko, bank, perusahaan kereta api dan perkapalan laut. Organisasi tersebut bertugas mempromosikan tempat wisata di Hindia Belanda kepada Eropa, Amerika dan Australia dengan menerbitkan brosur, poster, buku dll.. Untuk membujuk wisatawan yang sudah tahu tempat-tempat wisata di Eropa, tempat wisata di Pulau Jawa diberi nama puitis yang dinamai dari tempat wisata yang ternama di Eropa.

Contohnya, kota pegunungan Garut menjadi Het Zwitserland van Java (Swisnya Jawa), Semarang menjadi Het Gibraltar van Java (Gibraltarnya Jawa) dan Batavia yang memiliki banyak kali indah diberi nama Het Venetië van Java (Venesianya Jawa). Tidak terlupa, Bandung yang diberi nama Het Parijs van Java (Parisnya Jawa). Pastilah sebutan ini diinspirasi oleh reputasi Bandung sebagai kota fashion, dan oleh keindahan jalan-jalan dan gedung-gedung. Dengan nama puitis tersebut, Bandung bersaudara dengan Shanghai yang dahulu oleh Inggris disebut The Paris of the East (Parisnya Timur).

Jalan Braga adalah pusat pembelanjaan di Bandung tempo dulu. Di sini pada tahun 1910 didirikan sebuah rumah makan bernama Maison Vogelpoel. Mengikuti trend zaman itu, rumah makan ini disebut maison yang punya arti harfiah “rumah” tetapi yang memiliki arti sampingan yang lebih luas yaitu “pengusaha kecil” yang biasanya digunakan dengan konotasi yang agak eksekutif.  Kata Belanda Vogelpoel (kolam burung) adalah nama keluarga dari si pendiri Theodorus Vogelpoel.  Trotoar menjadi teras, di mana digunakan kursi lipat yang dibuat dari besi gaya Perancis.  Model kursi ini sama persis dengan model kursi yang dari dulu sampai kini sering digunakan di teras-teras di Perancis.

Tidak jauh dari sini ada rumah makan Kuijl & Versteeg, pada zaman itu glaciers (pembuat eskrim) yang ternama di kota Bandung. Sekali lagi, di teras ditemui kursi besi model Perancis. Bahasa Perancis juga digunakan untuk mengangkat status restaurant yang menghidangkan masakan Eropa ini, sebagaimana dibuktikan oleh iklan di koran Preangerpost pada pertengahan 1920-an. Di iklan tersebut kita dapat membaca antara lain sebutan menu (daftar makan) déjeuner (makan siang), diner (makan malam), hors d’oeuvre (makanan pembukaan).

Di Jalan Braga no. 22 pernah didirikan toko Au Chat Noir (artinya: Di [rumah] Kucing Hitam). Nama ini lagi menghubungkan Jalan Braga dengan Kota Paris, karena toko ini dinamai dari tempat hiburan legendaris Le Chat Noir (Si Kucing Hitam) yang beroperasi pada periode 1881-1897 di kawasan Montmartre di Paris. Selain itu, nama ini memperingatkan kita pada cerita dongeng Kucing Bersepatu Lars, yang ditulis oleh seorang Paris bernama Charles Perrault (1628-1703). Tak heran toko tersebut adalah toko sepatu.

Di Jalan Braga no. 3 pada tahun 1915 dibangun toko Au Bon Marché. Istillah bon marché dalam Bahasa Perancis merupakan istilah menarik yang beraneka arti. Bahasa Indonesianya “Pasar Benar”, “Pasar Baik”, “Murah” atau “Untung”. Selain itu, nama toko ini ada konotasi keren karena berbahasa Perancis, yaitu negeri yang pada waktu itu sudah merupakan pusat dari dunia mode. Nama toko Au Bon Marché mengacu ke toko ternama Le Bon Marché di Paris yang didirikan pada tahun 1852. Toko di Paris tersebut yang dianggap sebagai toko serba ada yang pertama di dunia ini. Di Jalan Raya Pos (kini Jalan Asia Afrika), dekat sekali dengan toko Au Bon Marché, ada Modehuis Lafayette. Toko mode ini pasti dinamai dari Galeries Lafayette, sebuah toko serba ada yang mewa di Paris yang sudah didirikan pada tahun 1896 di Rue de la Fayette (Jalan la Fayette). Kedua toko tersebut di Paris masih beroperasi hingga sekarang, sedangkan kedua toko di Bandung hanya diselamatkan dalam buku sejarah.






gambar :
bandung.go.id